Hukum air mutlak adalah thahurun
(suci menyucikan). Dengan kata lain, air mutlak itu suci pada zatnya dan dapat
menyucikan benda lain. Ada beberapa air yang dikategorikan air mutlak, yaitu:
1.
Air hujan, salju dan embun
Mengenai ini Allah SWT berfirman,
“….. dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.”
(Al-Andal [8] : 11)
Allah SWT juga berfirman
“Dan kami turunkan air
dari langit air yang amat bersih.” (Al-Furqan
[25] : 48)
Juga berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Huraira RA, ia
berkata, “Ketika Rasulullah SAW takbir dalam shalat, beliau berdiam sesaat
sebelum membaca surat Al-Fatihah. Lantas aku bertanya kepada beliau ‘Wahai
Rasulullah! Demi kemuliaan ibu dan bapakku, apa yang engkau baca ketika berdiam
sesaat di antara takbir dan membaca surat Al-Fatihah?. Rasulullah menjawab,
“Aku membaca,
‘Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana
Engaku menjauhkan jarak antara Timur dengan Barat. Ya Allah, bersihkanlah
diriku dari semua kesalahanku sebagaimana kain putih yang telah bersih dari
kotoran. Ya Allah, basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan salju air dan embun’”
2.
Air laut
Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Huraira RA.
Ia berkata, “seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai
Rasulullah, kami berlayar mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Jika
kami menggunakannya untuk berwudhu, kami akan mengalami dahaga. Bolehkah kami
berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah SAW menjawab,
“Air laut itu suci, dan bangkai (yang terdapat di dalamnya) halal
(dimakan).” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan sahih. Saya
pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il al-Bukhari mengenai hadits ini dan
beliau menjawab, bahwa hadits ini sahih.”
3.
Air zamzam
Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Ali RA. Ia
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah meminta seember air zamzam, lalu
beliau meminumnya kemudian berwudhu dengannya.” HR Ahmad.
4.
Air yang berubah disebabkan lama tergenang
Air ini tidak mengalir atau bercampur dengan sesuatu yang
sulit dipisahkan, seperti lumut dan dedaunan pohon. Menurut kesepakatan ulama
(ijma’), air seperti ini termasuk air mutlak.
Pada dasarnya, segala jenis air dalam pembahasan di sini yang
dapat disebut air mutlak tanpa dikaitkan dengan unsur-unsur lain dapat
digunakan untuk bersuci. Allah SWT berfirman,
“…lalu kamu tidak memperoleh air , maka
bertayamumlah.” (Al-Ma’idah [5] : 6)
Kedua: Air Musta’mal (air yang pernah digunakan)
Air musta’mal
adalah air yang pernah digunakan untuk mandi besar atau berwudhu. Hukum air
semacam ini adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci, sebagaimana air
mutlak dengan tanpa ada perbedaan dari segi hukum. Sebab, pada dasarnya air ini
suci, dan tidak ada satupun dalil yang meniadakan hukum kesuciannya. Adapun
dalil yang menyatakan bahwa hukum air musta’mal adalah suci dan dapat
dipergunakan untuk bersuci adalah hadits Rubbayi’ binti Mu’awwidz ketika
menjelaskan tata cara wudhu Rasulullah SAW. Ia berkata, “Rasulullah SAW
mengusap kepalanya dengan sisa air wudhu yang terdapat pada kedua tangannya.” HR Ahmad dan Abu Daud
Dan
redaksi Hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan air yang masih
tersisa yang ada ditangannya.”
Abu Huraira berkata, ia bertemu
dengan Rasulullah SAW di jalan di Madinah, yang saat itu dia dalam keadaan
junub. Dia lantas menghindari Rasulullah untuk mandi terlebih dulu. Setelah
itu, ia mendatangi Rasulullah SAW. Saat bertemu dengan beliau, Rasulullah SAW
bertanya kepadanya, “Kemana Engkau, wahai Abu Huraira?” Abu Huraira menjawab, “saya tadi malam dalam keadaan junub. Saya
tida ingin duduk di sisimu dalam keadaan tidak bersuci.” Rasulullah SAW
bersabda,
“Subhanallah! Sesungguhnya orang yang beriman
tidak najis.”
Hadits ini menjelaskan bahwa
orang beriman itu tidaklah najis. Karenanya, tidak ada alasan menjadikan air
yang telah dipergunakan hilang kesuciannya, hanya karena disentuh seorang
mukmin yang pada dasarnya suci. Secara umum, benda suci apabila menyentuh benda
suci lainnya, hal yang demikian tidak menimbulkan pengaruh apapun, apalagi
sampai menghilangkan kesuciannya. Ibnu Mudzir berkata, “Diriwayatkan dari
Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha’, Makhul, dan Nakha’I bahwa mereka
berpendapat mengenai seorang yang lupa mengusap kepalanya lalu menemukan sisa air
yang masih melekat pada jenggotnya. Menurut mereka, seorang dibolehkan mengusap
kepalanya dengan air tersebut. Hal ini menunjukan bahwa air musta’mal tetap
suci dan bisa menyucikan. Begitu halnya dengan pendapatku.”
Mahzab ini merupakan salah satu
pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Syafi’i. Ibnu Hazm mengatakan bahwa
pendapat yang demikian, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya merupakan
pendapat Sufyan ats-Tsauri dan seluruh mazhab Zhahiri.
Ketiga: Air yang bercampur dengan benda suci
Adapun air yang bercampur benda
suci, seperti: sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya, yang pada umumnya
terpisah dari air, maka hukum air tersebut tetap suci dan menyucikan selama
masih masuk dalam kategori air mutlak. Jika tidak lagi masuk ke dalam air
mutlak, maka air itu hukumnya suci, tetapi tidak dapat menyucikan benda lain.
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata,
“Ketika putri Rasulullah SAW (Zainab) wafat, beliau masuk (ke dalam ruangan
kami), lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah dia jenazah Zainab) sebanyak tiga,
lima kali, atau lebih dari itu, jika perlu, dengan air yang dicampur dengan
daun bidara. Lalu campurkanlah air itu dengan kapur barus atau yang sejenis
dengannya. Apabila telah selesai, beritahukan kepadaku.’ Setelah selesai
memandikan, kamipun memberitahukan kepada beliau. Kemudian beliau menyerahkan
sehelai kain kafan (sejenis sarung) seraya berkata, ‘balutkan kain ini pada
tubuhnya’”
Maka mayat tidak boleh
dimandikan kecuali dengan air yang benar-benar suci untuk orang yang masih
hidup.
Imam Ahmad, Nasai dan Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan dari Ummu Hani, ia berkata “Rasulullah SAW pernah mandi
(junub) bersama Maimunah dari satu bejana, yaitu dengan bejana besar yang di
dalamnya terdapat sisa adonan roti (tepung).”
Sebaimana yang telah dijelaskan
pada Hadits di atas, kita tahu bahwa air tersebut telah bercampur dengan
benda-benda suci. Namun, air tersebut tidak berubah statusnya dan masih dalam
kategori air mutlak.
Keempat: Air yang bercampur najis
Air yang bercampur dengan najis
terbagi menjadi dua macem, yaitu:
Pertama: Jika najis yang ada di dalam air itu merubah salah satu
dari rasa, warna atau bau air tersebut, menurut kesepakatan ulama (ijma’), air
tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci sama sekali. Hal ini sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.
Kedua: air tetap dalam status kemutlakannya jika ketiga sifat yang
meliputi rasa, bau atau warna tidak mengalami perubahan. Hukum air semacam ini
adalah suci dan menyucikan, baik jumlah air tersebut sedikit atapun banyak.
Adapun yang menjadi landasan atas pendapat ini adalah hadits Abu Huraira RA. Ia
berkata “Seorang arab pedalaman berdiri lalu kencing dalam masjid. Dengan cepat
para sahabat bangkit untuk menegurnya. Melihat itu Rasulullah SAW bersabda, “Biarlah dia! Sirami kencingnya dengan satu
ember atau satu timba air! Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan,
bukan untuk mempersulit.”
Abu Sa’id al-Khudri RA berkata,
“Rasulullah SAW ditanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu dari sumur Budha’ah?”
Beliau menjawab,
“Air itu suci dan tidak ada
sesuatu pun yang menyebabkannya menjadi najis.” HR Ahmad, Syafi’I, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi
Imam
Tirmidzi mengklasifikasikan hadits ini sebagai hadits hasan. Imam Ahmad
berkata, “Hadits sumur Budha’ah adalah sahih.” Hadits tersebut juga sahih dalam
pandangan Yahya bin Mu’in dan Abu Muhammad bin Hazm.
Inilah pendapat Ibnu Abbas, Abu
Huraira, Hasan al-Bashri, Ibnu Musyayab, ‘Ikrimah, Ibnu Abu Laila, ats-Tsauri,
Daud adh-Dhahiri, an-Nakhai, Malik dan ulama lain. Al-Ghazali berkata, “saya
berharap, semoga mahzab Syafi’I dalam perkara air, sama pendapatnya seperti
mazhab Maliki.”
Abu Huraira bin Umar RA
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“jika air mencapai dua qulah,
maka statusnya tidak mengandung najis.” HR
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai
Meskipun hadits ini mudhtharib
(tidak jelas) dari segi sanad dan matannya, Ibnu Abdul Barr dalam kitab
al-tahmid berkata, “Hadits dua qulah yang menjadi pegangan Imam Syafi’I adalah
mahzab yang lemah secara nalar, di samping haditsnya tidak kuat.”
Air Sisa Minuman
Maksudnya adalah air yang masih
tersisa dalam bejana setelah diminum. Jenis air semacam ini terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu:
1.
Air
sisa minumam Mmanusia
Air sisa minuman manusia tetap suci, baik yang meminumnya
orang muslim, kafir, sedang junub maupun sedang haid.
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis.” (At-Taubah [9] : 28)
Ayat ini menunjukan bahwa orang
musyrik adalah najis secara ma’nawi. Hal ini karena dilihat dari aspek akidah
mereka yang batil dan ketidak peduliannya pada kotoran dan najis, bukan badan
atau tubuh mereka yang najis. Pada masa Rasulullah SAW mereka diperbolehkan
berinteraksi dengan kaum muslimin. Utusan dan delegasi mereka terus berdatangan
menemui Rasulullah SAW. Bahkan ada di antara mereka ada yang diperkenankan
memasuki masjib Nabawi. Meskipun demikian, Rasulullah SAW tidak pernah menyuruh
agar membasuh benda yang disentuh oleh anggota tubuh orang-orang kafir. Hal ini
menjadi landasan bahwa (badan) orang-orang kafir tidak najis. Sedangkan dalil
yang menyatakan bahwa air sisa minuman perempuan haid tidak najis adalah hadits
Aisyah RA berkata,
“Saya pernah meminum air ketika
sedang haid. Kemudian saya berikan bekas minuman itu kepda Nabi Muhammad SAW,
beliau menempelkan mulutnya di tempat di mana aku menempelkan mulutku,” HR Muslim
2.
Air
sisa minuman hewan yang halal dagingnya
Status air sisa yang telah diminum hewan yang boleh dimakan
dagingnya adalah suci. Sebab, air liurnya keluar dari daging yang suci. Dengan
demikian, air sisa minumannyapun suci. Abu Bakar bin Mudzir berkata, “Para
ulama sepakat (ijma’) bahwa air sisa minuman hewan yang halal dimakan dagingnya
dapat diminum dan digunakan untuk berwudhu.
3.
Air
sisa minuman keledai, burung dan binatang buas
Status
sisa air minuman keledai, burung dan binatang buas adalah suci. Adapun dalilnya
adalah hadits Jabir RA, Rasululllah pernah ditanya.
“Bolehkah kami berwudhu dengan air sisa minuman keledai?”
Beliau menjawab,
‘Boleh,
begitu juga dengan air sisa menuman seluruh binatang buas.’” HR Syaafi’i, Daraquthni dan Baihaki
Baihaki
berkata, jalur riwayat hadits ini banyak, dan antara yang satu dengan lainnya
saling menguatkan.
Dari Ibnu
Umar RA, ia berkata, “Pada suatu malam, Rasulullah SAW berpergian. Beliau
melewati seorang laki-laki yang sedang duduk dekat telaga miliknya. Umar
bertanya, ‘adakah binatang buas yang minum air di telagamu pada malam hari?’
Rasulullah SAW langsung menyela pertanyaannya seraya berkata, ‘Wahai pemilik
telaga, jangan kau beritahu kepadanya, karena akan menyusahkan! Air yang sudah
diminum binatang buas, itulah rezekinya, sedangkan sisanya dapat kita minum dan
suci.’” HR Daruquthni
Dari Yahya
bin Sa’id, ia berkata “Umar pergi bersama rombongan dan ‘Amar bin ‘Ash termasuk
dalam rombongan itu, hingga mereka sampai di sebuah telaga. ‘Amar bertanya,
‘Wahai pemilik kolam, apakah kolam milikmu ini pernah didatangi binatang buas
(untuk meminum airnya)?’ Mendengar itu, Umar berkata, ‘Kamu tidak perlu memberitahukan
perkara itu kepada kami. Sebab, kami biasa minum di tempat minumnya binatang
buas, dan sebaliknya, binatang sering minum di tempat kami meminumnya.” HR Malik
4.
Air
sisa minuman kucing
Air sisa
minuman kucing statusnya juga suci. Sebagai landasan atas hal tersebut adalah
hadits Kabsyah binti Ka’ab yang menjadi pelayan Abu Qatadah. Pada suatu ketika,
Abu Qatadah masuk ke rumahnya, sedangkan Kabsyah menyediakan air wudhu Abu
Qatadah. Dengan tiba-tiba, seekor kucing datang lalu memasukan kepalanya ke
dalam bejana dan meminum air tersebut. Kabsyah menceritakan, “Melihat hal itu
saya hanya tertegun kebingungan.” Melihat Kabsyah dalam kebingungan, Abu
Qatadah menegur, “Apakah kamu merasa heran, wahai anak saudaraku?”
“Benar,”
jawab Kabsyah.
“sesungguhnya
ia (kucing) bukanlah hewan najis. Ia termasuk hewan jinak yang senantiasa
berada di sekelilingmu.” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai.
Imam Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan dan sahih.” Bahkan, Imam Bukhari dan lainnya
mengatagorikannya sebagai hadits sahih.
5.
Air sisa minuman anjing dan babi
Air sisa
minuman anjing dan babi adalah najis dan harus dijauhi. Adapun dalil atas
kenajisannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Abu Huraira RA bahwa Rasulullah bersabda,
“Jika anjing
meminum (air) dalam bejana salah seorang dari kalian, ehndaknya ia mencucinya
sebanyak tujuh kali.”
Imam Ahmad
dan Muslim juga meriwayatkan dengan redaksi,
“Sucinya
bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan
mencucinya sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan debu.”
Sebagai
ulasan atas kenajisannya adalah karena binatang ini kotor dan menjijikan.
Wallahhu’alam
Semoga
bermanfaat ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar