Sabtu, 03 Mei 2014

Pembagian dan Jenis Air

Pertama: Air Mutlak
                Hukum air mutlak adalah thahurun (suci menyucikan). Dengan kata lain, air mutlak itu suci pada zatnya dan dapat menyucikan benda lain. Ada beberapa air yang dikategorikan air mutlak, yaitu:
1.       Air hujan, salju dan embun
Mengenai ini Allah SWT berfirman,
“….. dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (Al-Andal [8] : 11)

Allah SWT juga berfirman
Dan kami turunkan air dari langit air yang amat bersih.” (Al-Furqan [25] : 48)

Juga berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Huraira RA, ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW takbir dalam shalat, beliau berdiam sesaat sebelum membaca surat Al-Fatihah. Lantas aku bertanya kepada beliau ‘Wahai Rasulullah! Demi kemuliaan ibu dan bapakku, apa yang engkau baca ketika berdiam sesaat di antara takbir dan membaca surat Al-Fatihah?. Rasulullah menjawab, “Aku membaca,
‘Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engaku menjauhkan jarak antara Timur dengan Barat. Ya Allah, bersihkanlah diriku dari semua kesalahanku sebagaimana kain putih yang telah bersih dari kotoran. Ya Allah, basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan salju air dan embun’”

2.       Air laut
Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Huraira RA. Ia berkata, “seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah, kami berlayar mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Jika kami menggunakannya untuk berwudhu, kami akan mengalami dahaga. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah SAW menjawab,

Air laut itu suci,  dan bangkai (yang terdapat di dalamnya) halal (dimakan).” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai

Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan sahih. Saya pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il al-Bukhari mengenai hadits ini dan beliau menjawab, bahwa hadits ini sahih.”

3.       Air zamzam
Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Ali RA. Ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah meminta seember air zamzam, lalu beliau meminumnya kemudian berwudhu dengannya.” HR Ahmad.

4.       Air yang berubah disebabkan lama tergenang
Air ini tidak mengalir atau bercampur dengan sesuatu yang sulit dipisahkan, seperti lumut dan dedaunan pohon. Menurut kesepakatan ulama (ijma’), air seperti ini termasuk air mutlak.

Pada dasarnya, segala jenis air dalam pembahasan di sini yang dapat disebut air mutlak tanpa dikaitkan dengan unsur-unsur lain dapat digunakan untuk bersuci. Allah SWT berfirman,
“…lalu kamu tidak memperoleh air , maka bertayamumlah.” (Al-Ma’idah [5] : 6)


Kedua: Air Musta’mal (air yang pernah digunakan)
            Air musta’mal adalah air yang pernah digunakan untuk mandi besar atau berwudhu. Hukum air semacam ini adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci, sebagaimana air mutlak dengan tanpa ada perbedaan dari segi hukum. Sebab, pada dasarnya air ini suci, dan tidak ada satupun dalil yang meniadakan hukum kesuciannya. Adapun dalil yang menyatakan bahwa hukum air musta’mal adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci adalah hadits Rubbayi’ binti Mu’awwidz ketika menjelaskan tata cara wudhu Rasulullah SAW. Ia berkata, “Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan sisa air wudhu yang terdapat pada kedua tangannya.” HR Ahmad dan Abu Daud

                Dan redaksi Hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan air yang masih tersisa yang ada ditangannya.”

                Abu Huraira berkata, ia bertemu dengan Rasulullah SAW di jalan di Madinah, yang saat itu dia dalam keadaan junub. Dia lantas menghindari Rasulullah untuk mandi terlebih dulu. Setelah itu, ia mendatangi Rasulullah SAW. Saat bertemu dengan beliau, Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kemana Engkau, wahai Abu Huraira?” Abu Huraira menjawab, “saya tadi malam dalam keadaan junub. Saya tida ingin duduk di sisimu dalam keadaan tidak bersuci.” Rasulullah SAW bersabda,
Subhanallah! Sesungguhnya orang yang beriman tidak najis.”

                Hadits ini menjelaskan bahwa orang beriman itu tidaklah najis. Karenanya, tidak ada alasan menjadikan air yang telah dipergunakan hilang kesuciannya, hanya karena disentuh seorang mukmin yang pada dasarnya suci. Secara umum, benda suci apabila menyentuh benda suci lainnya, hal yang demikian tidak menimbulkan pengaruh apapun, apalagi sampai menghilangkan kesuciannya. Ibnu Mudzir berkata, “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha’, Makhul, dan Nakha’I bahwa mereka berpendapat mengenai seorang yang lupa mengusap kepalanya lalu menemukan sisa air yang masih melekat pada jenggotnya. Menurut mereka, seorang dibolehkan mengusap kepalanya dengan air tersebut. Hal ini menunjukan bahwa air musta’mal tetap suci dan bisa menyucikan. Begitu halnya dengan pendapatku.”
                Mahzab ini merupakan salah satu pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Syafi’i. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pendapat yang demikian, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya merupakan pendapat Sufyan ats-Tsauri dan seluruh mazhab Zhahiri.

Ketiga: Air yang bercampur dengan benda suci
                Adapun air yang bercampur benda suci, seperti: sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya, yang pada umumnya terpisah dari air, maka hukum air tersebut tetap suci dan menyucikan selama masih masuk dalam kategori air mutlak. Jika tidak lagi masuk ke dalam air mutlak, maka air itu hukumnya suci, tetapi tidak dapat menyucikan benda lain.

                Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Ketika putri Rasulullah SAW (Zainab) wafat, beliau masuk (ke dalam ruangan kami), lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah dia jenazah Zainab) sebanyak tiga, lima kali, atau lebih dari itu, jika perlu, dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Lalu campurkanlah air itu dengan kapur barus atau yang sejenis dengannya. Apabila telah selesai, beritahukan kepadaku.’ Setelah selesai memandikan, kamipun memberitahukan kepada beliau. Kemudian beliau menyerahkan sehelai kain kafan (sejenis sarung) seraya berkata, ‘balutkan kain ini pada tubuhnya’”
                Maka mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang benar-benar suci untuk orang yang masih hidup.
                Imam Ahmad, Nasai dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Ummu Hani, ia berkata “Rasulullah SAW pernah mandi (junub) bersama Maimunah dari satu bejana, yaitu dengan bejana besar yang di dalamnya terdapat sisa adonan roti (tepung).”

                Sebaimana yang telah dijelaskan pada Hadits di atas, kita tahu bahwa air tersebut telah bercampur dengan benda-benda suci. Namun, air tersebut tidak berubah statusnya dan masih dalam kategori air mutlak.

Keempat: Air yang bercampur najis
                Air yang bercampur dengan najis terbagi menjadi dua macem, yaitu:
                Pertama: Jika najis yang ada di dalam air itu merubah salah satu dari rasa, warna atau bau air tersebut, menurut kesepakatan ulama (ijma’), air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci sama sekali. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.

                Kedua: air tetap dalam status kemutlakannya jika ketiga sifat yang meliputi rasa, bau atau warna tidak mengalami perubahan. Hukum air semacam ini adalah suci dan menyucikan, baik jumlah air tersebut sedikit atapun banyak. Adapun yang menjadi landasan atas pendapat ini adalah hadits Abu Huraira RA. Ia berkata “Seorang arab pedalaman berdiri lalu kencing dalam masjid. Dengan cepat para sahabat bangkit untuk menegurnya. Melihat itu Rasulullah SAW bersabda, “Biarlah dia! Sirami kencingnya dengan satu ember atau satu timba air! Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk mempersulit.”

                Abu Sa’id al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW ditanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu dari sumur Budha’ah?”
                Beliau menjawab,
                “Air itu suci dan tidak ada sesuatu pun yang menyebabkannya menjadi najis.” HR Ahmad, Syafi’I, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi

                Imam Tirmidzi mengklasifikasikan hadits ini sebagai hadits hasan. Imam Ahmad berkata, “Hadits sumur Budha’ah adalah sahih.” Hadits tersebut juga sahih dalam pandangan Yahya bin Mu’in dan Abu Muhammad bin Hazm.

                Inilah pendapat Ibnu Abbas, Abu Huraira, Hasan al-Bashri, Ibnu Musyayab, ‘Ikrimah, Ibnu Abu Laila, ats-Tsauri, Daud adh-Dhahiri, an-Nakhai, Malik dan ulama lain. Al-Ghazali berkata, “saya berharap, semoga mahzab Syafi’I dalam perkara air, sama pendapatnya seperti mazhab Maliki.”
                Abu Huraira bin Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
                “jika air mencapai dua qulah, maka statusnya tidak mengandung najis.” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai

                Meskipun hadits ini mudhtharib (tidak jelas) dari segi sanad dan matannya, Ibnu Abdul Barr dalam kitab al-tahmid berkata, “Hadits dua qulah yang menjadi pegangan Imam Syafi’I adalah mahzab yang lemah secara nalar, di samping haditsnya tidak kuat.”

Air Sisa Minuman
                Maksudnya adalah air yang masih tersisa dalam bejana setelah diminum. Jenis air semacam ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.       Air sisa minumam Mmanusia
Air sisa minuman manusia tetap suci, baik yang meminumnya orang muslim, kafir, sedang junub maupun sedang haid.

                Allah SWT berfirman,
                “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (At-Taubah [9] : 28)
                Ayat ini menunjukan bahwa orang musyrik adalah najis secara ma’nawi. Hal ini karena dilihat dari aspek akidah mereka yang batil dan ketidak peduliannya pada kotoran dan najis, bukan badan atau tubuh mereka yang najis. Pada masa Rasulullah SAW mereka diperbolehkan berinteraksi dengan kaum muslimin. Utusan dan delegasi mereka terus berdatangan menemui Rasulullah SAW. Bahkan ada di antara mereka ada yang diperkenankan memasuki masjib Nabawi. Meskipun demikian, Rasulullah SAW tidak pernah menyuruh agar membasuh benda yang disentuh oleh anggota tubuh orang-orang kafir. Hal ini menjadi landasan bahwa (badan) orang-orang kafir tidak najis. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa air sisa minuman perempuan haid tidak najis adalah hadits Aisyah RA berkata,
                “Saya pernah meminum air ketika sedang haid. Kemudian saya berikan bekas minuman itu kepda Nabi Muhammad SAW, beliau menempelkan mulutnya di tempat di mana aku menempelkan mulutku,” HR Muslim

2.       Air sisa minuman hewan yang halal dagingnya
Status air sisa yang telah diminum hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci. Sebab, air liurnya keluar dari daging yang suci. Dengan demikian, air sisa minumannyapun suci. Abu Bakar bin Mudzir berkata, “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa air sisa minuman hewan yang halal dimakan dagingnya dapat diminum dan digunakan untuk berwudhu.

3.       Air sisa minuman keledai, burung dan binatang buas
Status sisa air minuman keledai, burung dan binatang buas adalah suci. Adapun dalilnya adalah hadits Jabir RA, Rasululllah pernah ditanya.
“Bolehkah kami berwudhu dengan air sisa minuman keledai?”
Beliau menjawab,
‘Boleh, begitu juga dengan air sisa menuman seluruh binatang buas.’” HR Syaafi’i, Daraquthni dan Baihaki

Baihaki berkata, jalur riwayat hadits ini banyak, dan antara yang satu dengan lainnya saling menguatkan.

Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Pada suatu malam, Rasulullah SAW berpergian. Beliau melewati seorang laki-laki yang sedang duduk dekat telaga miliknya. Umar bertanya, ‘adakah binatang buas yang minum air di telagamu pada malam hari?’ Rasulullah SAW langsung menyela pertanyaannya seraya berkata, ‘Wahai pemilik telaga, jangan kau beritahu kepadanya, karena akan menyusahkan! Air yang sudah diminum binatang buas, itulah rezekinya, sedangkan sisanya dapat kita minum dan suci.’” HR Daruquthni
Dari Yahya bin Sa’id, ia berkata “Umar pergi bersama rombongan dan ‘Amar bin ‘Ash termasuk dalam rombongan itu, hingga mereka sampai di sebuah telaga. ‘Amar bertanya, ‘Wahai pemilik kolam, apakah kolam milikmu ini pernah didatangi binatang buas (untuk meminum airnya)?’ Mendengar itu, Umar berkata, ‘Kamu tidak perlu memberitahukan perkara itu kepada kami. Sebab, kami biasa minum di tempat minumnya binatang buas, dan sebaliknya, binatang sering minum di tempat kami meminumnya.” HR Malik

4.       Air sisa minuman kucing
Air sisa minuman kucing statusnya juga suci. Sebagai landasan atas hal tersebut adalah hadits Kabsyah binti Ka’ab yang menjadi pelayan Abu Qatadah. Pada suatu ketika, Abu Qatadah masuk ke rumahnya, sedangkan Kabsyah menyediakan air wudhu Abu Qatadah. Dengan tiba-tiba, seekor kucing datang lalu memasukan kepalanya ke dalam bejana dan meminum air tersebut. Kabsyah menceritakan, “Melihat hal itu saya hanya tertegun kebingungan.” Melihat Kabsyah dalam kebingungan, Abu Qatadah menegur, “Apakah kamu merasa heran, wahai anak saudaraku?”
“Benar,” jawab Kabsyah.
“sesungguhnya ia (kucing) bukanlah hewan najis. Ia termasuk hewan jinak yang senantiasa berada di sekelilingmu.” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai.
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan sahih.” Bahkan, Imam Bukhari dan lainnya mengatagorikannya sebagai hadits sahih.
5.       Air sisa minuman anjing dan babi
Air sisa minuman anjing dan babi adalah najis dan harus dijauhi. Adapun dalil atas kenajisannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Huraira RA bahwa Rasulullah bersabda,
“Jika anjing meminum (air) dalam bejana salah seorang dari kalian, ehndaknya ia mencucinya sebanyak tujuh kali.”
Imam Ahmad dan Muslim juga meriwayatkan dengan redaksi,
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan debu.”
Sebagai ulasan atas kenajisannya adalah karena binatang ini kotor dan menjijikan.

Wallahhu’alam
Semoga bermanfaat ^_^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar